Minggu, 19 September 2010

KHILAFAH DI MATA PARA ‘ULAMA


Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyyah

            Menegakkan kembali khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban syar’iy bagi seluruh kaum muslim.  Alasan-alasan mengapa kaum muslim wajib berjuang menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebagai berikut.
1.     Perintah untuk mentaati pemimpin. Al-Quran di banyak ayat telah mewajibkan kaum muslim untuk mentaati seorang pemimpin (ulil amriy). Allah swt berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu…”[Al-Nisaa’:59].
Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah, RasulNya dan para penguasa.  Pendapat ini dipegang oleh jumhur para ‘ulama: Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain sebagainya.[1]  Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah khalifah atau imam. 
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu berpegang teguh kepada syariat Allah swt.  Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah swt. [2]
Meskipun manthuq ayat ini berisikan perintah untuk mentaati pemimpin, namun ayat  di atas menyiratkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah).  Pengertian semacam ini bisa dipahami dengan memperhatikan dalalah iltizam yang melekat pada ayat tersebut[3].   Perintah untuk taat kepada penguasa sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin.  Sebab, Allah swt tidak mungkin memerintahkan untuk mentaati pemimpin sementara itu pemimpinnya tidak ada atau belum diangkat.  Atas dasar itu, ayat ini merupakan dalil wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin (khalifah), agar mereka bisa memberikan ketaatan kepada ulil amri.  Tanpa mengangkat khalifah (ulil amri) mustahil mereka bisa memberikan ketaatan.  
2.     Perintah untuk berhukum dengan aturan-aturan Allah swt secara menyeluruh dan sempurna. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”[4]
Imam al-Nasafiy  menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam[5].
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamiir “mu’miniin’.   Makna “kaaffah” adalah “jamii’an.”[6]
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi.  Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka.   Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas. 
Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan  perintah kepada  orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.[7]
Penerapan syariat Islam hanya akan sempurna dengan adanya institusi khilafah Islamiyyah.  Atas dasar itu, eksistensi Khilafah Islamiyyah merupakan keniscayaan bagi sempurnanya penerapan hukum-hukum Islam.   Tanpa khilafah, syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna.   Dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa hukum menegakkan kembali syariat Islam adalah wajib.  
3.  Persatuan dan kesatuan kaum muslim[8].    Islam mewajibkan kesatuan dan persatuan kaum muslim dan melarang keterpecah-belahan (tafarruq).   Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya'fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian --sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)-- kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
            Dalam hadits ini dituturkan dengan sangat jelas, bahwa kesatuan kaum muslim (jama’ah muslim) dikaitkan dengan khalifah.   Artinya, kesatuan kaum muslim hanya akan tertegak jika telah dibai’at seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim.   Bahkan, Rasulullah saw mengancam siapa saja yang hendak memecah belah kesatuan kaum muslim dengan hukuman bunuh. 
4.  Khilafah adalah instrumen yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.   Persengketaan dan perselisihan diantara kaum muslim dalam masalah apapun akan bisa dituntaskan jika ada pihak yang memutuskan perselisihan tersebut.  Khalifah adalah pihak yang secara syar’iy akan menyelesaikan seluruh persengketaan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.  Dalam sebuah kaedah ushul fiqh disebutkan “Amrul imaam yarfa’u al-khilafah (perintah imam (khalifah) dapat menyelesaikan persengketaan”.[9]
5.  Banyak riwayat yang menyiratkan wajibnya kaum muslim mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan mereka.  
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya : Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A'masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka'bah berkata : Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin 'Ash duduk di naungan Ka'bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,......ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu."
            Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim : Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami bahwa Syu'bah telah bercerita kepada kami  dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata : Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda : Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami ?. Beliau menjawab : Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja”.
6.  Ijma’ shahabat ra juga menunjukkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum muslim.   
Perhatian generasi awal Islam terhadap urusan khilafah dan pengangkatan seorang khalifah sangatlah besar.  Sampai-sampai, mereka mendahulukan urusan pengangkatan seorang khalifah dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.   Sebagian besar diantara mereka menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim[10].   Sedangkan shahabat-shahabat lain yang bertugas mengurusi jenazah Rasulullah saw[11].  Namun demikian shahabat yang mengurusi jenazah Rasulullah saw menunda penyemayaman hingga para shahabat yang ada di Saqifah Bani Sa’idah menyelesaikan urusan mereka (mengangkat seorang khalifah).     

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar