Minggu, 19 September 2010

Menyoal Akidah Atau Khilafah: Mana Yang Didahulukan?

Soal:
Manakah yang harus didahulukan, antara seruan untuk memperbaiki akidah ataukah menegakkan Khilafah?


Jawab:

Mendudukan Posisi Akidah dan Khilafah

Harus diakui, bahwa sebagai pondasi, akidah menduduki posisi yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan seseorang. Bagi umat Islam, akidah Islam merupakan landasan kehidupan; baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara. Akidah Islam juga merupakan sumber kebangkitan umat Islam serta penentu maju dan mundurnya umat ini. Ini terlihat dengan jelas pada kebangkitan bangsa Arab. Bangsa yang sebelumnya tidak mempunyai sejarah, dan tidak pernah diperhitungkan oleh dunia, tiba-tiba muncul ke pentas sejarah sebagai adidaya di dunia, yang disegani oleh kawan dan lawan. Semua ini terjadi setelah bangsa ini memeluk Islam sebagai akidah dan syariat mereka. Demikian sebaliknya dengan saat ini, setelah akidah Islam itu tidak lagi dijadikan landasan kehidupan, baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara, serta tidak lagi sebagai sumber kebangkitan mereka, maka bangsa ini akhirnya kembali hina dan dinistakan oleh musuh-musuh mereka, kaum kafir imperialis.

Jodoh Benarkah Sebuah Takdir?


Tanya :
Bagaimana syara' memandang masalah jodoh? Apakah jodoh merupakan bagian dari Qadha' (takdir) yang telah ditetapkan Allah sejak Zaman Azali ataukah ia muamalah biasa sebagaimana jual beli perkontrakan dan sejenisnya? Bagaimana menyikapi ungkapan yang populer di masyarakat bahwa rezeki, ajal dan jodoh semuanya ditangan Tuhan,dan manusia hanya bisa mengusahakan, sementara keputusan akhir tetap di tangan Allah?

Jawab:
Lafadz "jodoh" adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah "pasangan yang cocok" baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna "jodoh" seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan. Para Fuqaha' ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi "netral" tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.

Kritik Terhadap Harakah Islam Yang Mengakui Sistem Thaghut

Pengantar
Setelah hancurnya Khilafah tahun 1924, banyak harakah Islam bangkit berjuang untuk mengembalikan kejayaan Islam. Berbagai harakah Islam ini berjuang dengan tujuan, ide, dan metode perjuangan masing-masing. Meski berbeda-beda, namun insya Allah semuanya mendapat ridha Allah SWT selama mereka ikhlas berjuang untuk Islam.

Hanya saja, tak semua perjuangan itu relevan dengan masalah utama (qadhiyah mashiriyah) umat Islam atau sesuai dengan tuntutan ajaran Islam dalam perubahan. Jadi ikhlas saja tidaklah cukup, meski keikhlasan memang tuntutan mendasar dalam amal perjuangan. Keikhlasan harus disertai dengan pemahaman akan hukum-hukum Islam serta tuntutan ajaran Islam dalam perubahan.

Masalah Utama Umat Islam dan Tipologi Harakah Islam
Islam tak diragukan lagi adalah agama yang komprehensif, yaitu bukan sekedar agama spiritual, tapi juga mengatur segenap aspek kehidupan. Islam adalah agama dan negara. Maka dari itu, sejak Rasulullah SAW diutus sebagai nabi dan rasul, yang menjadi masalah utama umat Islam adalah bagaimana mengamalkan agama Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bernegara.

MUSLIM DZIMMI

Barangkali mungkin akan ada yang menunjuk hidung ke arah saya, membid’ah-bid’ahkan saya, terkait judul di atas yang terkesan kontroversial. Biar saja. Saya memang suka dengan yang ’ribut-ribut’, saya membenci ’kedamaian’ jika ia hanya sekadar aforisma dari kungkungan ’zona nyaman’. Sebagai penyesatan opini, dan jebakan intelektual.

Istilah Muslim Dzimmi memang tidak pernah ada dalam konsep Islam. Ini hanya inisiatif saya pribadi ketika melihat realitas kehidupan saat ini yang ’pating pecotot’ tidak jelas jeluntrungnya. Di sisi lain, tidak jarang dari kalangan yang mengatasnamakan dirinya intelektual muslim tanpa segan-segan melakukan akrobat intelektual: Mengkaburkan yang haq, dan mentolerir yang bathil.

Dahulu saya berbangga hati jika Negeri tempat tinggal dan kelahiran saya, dikatakan sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia. Rasa-rasanya ”wah” dan tak tertandingi. Namun maaf, kali ini mungkin saya harus merevisi anggapan itu, setidak-tidaknya untuk diri saya sendiri. Sekali lagi maaf. Bukan karena saya sudah mulai lancang dan durhaka, tetapi memang sudah benar-benar saya renungkan. Apa yang perlu saya banggakan jika jumlah umat Muslim hanya sebatas kuantitas semata-mata, dan nyatanya hampir selalu keteteran untuk membela dan mengangkat kemuliaan Agamanya.

Pada akhirnya saya mengerti, Negara ini sebetulnya bukan mayoritas penduduknya beragama Islam. Silakan Anda heran, tetapi saya tidak, karena seperti apa yang saya ketahui, bahwa mayoritas penduduk Negeri ini lebih banyak menganut ”Agama Demokrasi”. Kalaupun benar ber-KTP Islam, mereka pun tak segan-segan ”poligami” Ideologi. Alhasil, silakan Anda Islam, tapi sebatas di Masjid, di majlis-majlis dzikir, dan di bulan Suci. Tak usah bawa-bawa agama di ranah politik, jangan seret Islam dalam wilayah konstitusi. Islam terlalu suci untuk semua itu. Lagi pula, dan ini yang lebih penting, bahwa Negara ini, bukan Negara Arab! Bukan negara Syariat!

Laa haula wa laa quwwata illaa biLlah...

Kalau yang mengatakan seperti itu adalah orang yang menganut agama selain Islam, saya kira wajar. Tetapi jika ucapan itu meluncur dari mulut seseorang yang notabene mengaku Islam, berarti dugaan saya benar, mereka itulah yang disebut ”Muslim Dzimmi”. Di satu sisi mereka bebas melakukan ibadah ritual sesuai tuntunan agamanya, tetapi di sisi lain mereka lebih tunduk dan loyal (wala’) kepada aturan selain Islam (thaghut), serta berusaha dengan berbagai dalih untuk mentolerir penerapan Syariat Agamanya. Oleh sebab Syariat itu harus menyesuaikan perkembangan zaman, katanya, maka seolah-olah hukum meninggalkan syariat menjadi ”makruh” belaka. Setara ketika mereka menghukumi sebatang rokok Surya.

Sejenak mari membuka ’Ahkam Ahludz Dzimmah’-nya Ibnul Qayyim Rahimahullah, beliau membagi kriteria orang-orang Kafir sebagai berikut:

  1. Kafir Dzimmy, yaitu kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di Negeri kaum Muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Mereka diperlakukan seperti halnya umat yang lainnya.
  2. Kafir Mu’ahad, yaitu kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
  3. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin (Utusan, pedagang, orang yang berniat belajar keislaman, atau yang punya hajat kunjungan dan sebagainya). Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
  4. Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga jenis di atas. Kafir model inilah yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Nah, sekarang saya tanya, dimana Anda bisa menemukan Kafir Dzimmi? Yah, tidaklah usah dipikirkan. Jawabannya adalah, ”sementara sudah tidak ada”. Yang ada justru ”Muslim Dzimmi”, yang tiap tahunnya dipalak untuk setor pajak, dan harus tunduk kepada aturan thaghut. Lebih jauh saya berangan-angan, jika seorang Muslim melakukan kesepakatan damai atas kebrutalan Amerika dan sekutunya, maka boleh jadi ia ”Muslim Mu’ahad”. Atau yang menimba ilmu di Amerika dan belajar mengacak-acak Agama Islam, mereka adalah ”Musta’man”. Dan yang getol bersuara Syari’ah, Khilafah, serta Jihad adalah ”Muslim Harbi”!

Anda mungkin tak akan setuju dengan penamaan seperti itu. Ya, Anda memang tidak harus menghiraukan itu. Saya hanya memberikan analogi ringan, meskipun terkesan serampangan, bahwa dunia ini memang serba terbalik! Bahasa jawanya, ’pating pecotot’!

Yang perlu kita renungkan adalah Ayat ini:

”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [As-Suraa: 21].

”Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]

Namun apa yang terjadi? Syari’at negerinya gelandang enerjik Wesley Sneijder malah justru diadopsi. Kita pun latah dengan ”kebijaksanaan” demokrasi yang saat ini digembor-gemborkan oleh Amerika. Mestinya, sebagai orang yang mengaku beriman, maka Ayat inilah yang harus dipegang,

”Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” [Al-Kahfi: 26]

Ah, tetapi dasar manusia. Sudah dzalim, jahil pula.
”Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzab: 72]

Manusia itu suka nakal, brutal, dan menentang.
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterimakasih kepada Tuhannnya.” [Al-’Adiyat: 100]

Kapan waktu ada seseorang yang berkata kepada saya, ”Sampeyan itu mbok ya nggak usah terlalu sok Arab”, maka saya jawab saja, ”Ah, situ juga mbok ya jangan terlalu sok Amerika.” Sebenarnya tidak pernah ada istilah sok Arab dan sok Amerika, karena penilaian itu harusnya hanya berdasarkan kepada yang haq dan yang bathil, sesuai dengan aturan Allah yang Maha Adil.

Nah, oleh karenannya mari melakukan penyadaran kembali. Sekurang-kurangnya dengan melihat perbandingan ini:

Inilah Agama Islam:
”Inil-hukmu illaa liLlaah (Tidaklah hukum itu kecuali milik Allah)” [QS. Yusuf: 40]

Dan inilah 'Agama Demokrasi':
”Kedaulatan di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” [Pasal 1 Ayat 2, UUD 1945]

Kiranya sangat gamblang kata-kata itu untuk dimengerti. Namun lucunya, masih saja ada yang mendebat, dengan dalih demokrasi tidak bertentangan dengan Syari’at, karena demokrasi dianggapnya sebagai musyawarah (Asy-Syura). Orang seperti itu tidaklah perlu ditanggapi terlalu ngotot, karena dia pun tidak akan mau disama-samakan dengan monyet gara-gara sama-sama punya kaki, punya tangan, serta punya postur tubuh dan paras wajah yang hampir mirip dengan monyet. Sekalipun diperlengkap data bahwa dia sama-sama makan pisang.

Permasalahan kronis demokrasi sebenarnya ada pada kata ”kedaulatan” (ketundukan). Dimana ia harus dikembalikan kepada Rakyat, lalu kepada Voting. Suara Kyai tidak ada bedanya dengan suara ”penjaja daging”, suara Profesor tak berbeda bobot dengan suara gelandangan. Lalu dalam hal musyawarah, jika Islam hanya membolehkan sebatas perkara teknis, maka dalam demokrasi perkara yang sudah jelas halal dan haramnya bisa pula dimungkinkan untuk digugat dan dipermasalahkan. Itulah mengapa, demokrasi tidak bisa disamaratakan dengan Islam. Dan manusia tidak mungkin disejajarkan dengan monyet!

Kawan, entahlah sampai kapan kita akan terus diombang-ambingkan. Dipermainkan seperti halnya barang rongsokan. Tidak ada yang membela Agama kita kecuali apa yang kita lakukan untuk berorasi di jalanan, serta deretan tulisan kecaman. Dan bagi saudara kita yang dijarah tanahnya mungkin hanya bisa membalas dengan sedikit lemparan. Apa yang orang-orang harapkan dari demokrasi pun samasekali tak kunjung menampilkan kebijaksanaan. Akhirnya, tak perlu ada yang ditakutkan, kita buang saja mitos ”Muslim Dzimmi”, dan kita serukan satu kata lantang: Lawan!


KHILAFAH DI MATA PARA ‘ULAMA


Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyyah

            Menegakkan kembali khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban syar’iy bagi seluruh kaum muslim.  Alasan-alasan mengapa kaum muslim wajib berjuang menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebagai berikut.
1.     Perintah untuk mentaati pemimpin. Al-Quran di banyak ayat telah mewajibkan kaum muslim untuk mentaati seorang pemimpin (ulil amriy). Allah swt berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu…”[Al-Nisaa’:59].
Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah, RasulNya dan para penguasa.  Pendapat ini dipegang oleh jumhur para ‘ulama: Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain sebagainya.[1]  Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah khalifah atau imam. 
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu berpegang teguh kepada syariat Allah swt.  Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah swt. [2]
Meskipun manthuq ayat ini berisikan perintah untuk mentaati pemimpin, namun ayat  di atas menyiratkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah).  Pengertian semacam ini bisa dipahami dengan memperhatikan dalalah iltizam yang melekat pada ayat tersebut[3].   Perintah untuk taat kepada penguasa sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin.  Sebab, Allah swt tidak mungkin memerintahkan untuk mentaati pemimpin sementara itu pemimpinnya tidak ada atau belum diangkat.  Atas dasar itu, ayat ini merupakan dalil wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin (khalifah), agar mereka bisa memberikan ketaatan kepada ulil amri.  Tanpa mengangkat khalifah (ulil amri) mustahil mereka bisa memberikan ketaatan.  
2.     Perintah untuk berhukum dengan aturan-aturan Allah swt secara menyeluruh dan sempurna. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”[4]
Imam al-Nasafiy  menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam[5].
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamiir “mu’miniin’.   Makna “kaaffah” adalah “jamii’an.”[6]
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi.  Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka.   Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas. 
Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan  perintah kepada  orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.[7]
Penerapan syariat Islam hanya akan sempurna dengan adanya institusi khilafah Islamiyyah.  Atas dasar itu, eksistensi Khilafah Islamiyyah merupakan keniscayaan bagi sempurnanya penerapan hukum-hukum Islam.   Tanpa khilafah, syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna.   Dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa hukum menegakkan kembali syariat Islam adalah wajib.  
3.  Persatuan dan kesatuan kaum muslim[8].    Islam mewajibkan kesatuan dan persatuan kaum muslim dan melarang keterpecah-belahan (tafarruq).   Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya'fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian --sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)-- kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
            Dalam hadits ini dituturkan dengan sangat jelas, bahwa kesatuan kaum muslim (jama’ah muslim) dikaitkan dengan khalifah.   Artinya, kesatuan kaum muslim hanya akan tertegak jika telah dibai’at seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim.   Bahkan, Rasulullah saw mengancam siapa saja yang hendak memecah belah kesatuan kaum muslim dengan hukuman bunuh. 
4.  Khilafah adalah instrumen yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.   Persengketaan dan perselisihan diantara kaum muslim dalam masalah apapun akan bisa dituntaskan jika ada pihak yang memutuskan perselisihan tersebut.  Khalifah adalah pihak yang secara syar’iy akan menyelesaikan seluruh persengketaan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.  Dalam sebuah kaedah ushul fiqh disebutkan “Amrul imaam yarfa’u al-khilafah (perintah imam (khalifah) dapat menyelesaikan persengketaan”.[9]
5.  Banyak riwayat yang menyiratkan wajibnya kaum muslim mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan mereka.  
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya : Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A'masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka'bah berkata : Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin 'Ash duduk di naungan Ka'bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,......ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu."
            Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim : Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami bahwa Syu'bah telah bercerita kepada kami  dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata : Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda : Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami ?. Beliau menjawab : Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja”.
6.  Ijma’ shahabat ra juga menunjukkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum muslim.   
Perhatian generasi awal Islam terhadap urusan khilafah dan pengangkatan seorang khalifah sangatlah besar.  Sampai-sampai, mereka mendahulukan urusan pengangkatan seorang khalifah dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.   Sebagian besar diantara mereka menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim[10].   Sedangkan shahabat-shahabat lain yang bertugas mengurusi jenazah Rasulullah saw[11].  Namun demikian shahabat yang mengurusi jenazah Rasulullah saw menunda penyemayaman hingga para shahabat yang ada di Saqifah Bani Sa’idah menyelesaikan urusan mereka (mengangkat seorang khalifah).     

    

Senin, 13 September 2010

STUDI DAN TARJIH SEJUMLAH PENDAPAT ULAMA TENTANG HUKUM BOM MANUSIA ("BOM BUNUH DIRI")

Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi 

I. Pendahuluan                                  
Bom manusia --atau apa yang sering disebut bom bunuh diri-- merupakan satu faktor signifikan dalam Krisis Palestina, karena mempunyai pengaruh efektif terhadap kebijakan politik di Palestina. Misalnya aksi bom manusia pada 12 Juni 2002 di Yerusalem yang mengakibatkan 20 warga Israel tewas dan 40 lainnya terluka. Kejadian ini membuat PM Israel, Ariel Sharon, menyatakan akan tetap menolak pendirian negara Palestina sampai aksi bom itu berhenti total.1
Di samping signifikansi aspek politis tersebut, aspek lain aksi bom manusia yang menarik adalah timbulnya pro kontra yang cukup tajam di kalangan para ulama dan cendekiawan mengenai hukumnya dalam fiqih Islam. Sebagian mengharamkannya sementara sebagian lainnya membolehkannya. Jurnal Inquiry and Analysis Series mendiskusikan soal legitimasi hukum bom manusia itu setidaknya sampai tiga bulan, dari Mei sampai Juli 2001. Yang terlibat dalam polemik ini tak hanya ulama fiqih, tetapi juga pakar politik, pengamat dunia Islam, serta kalangan pers. Diskusi antardispilin ilmu praktis terhenti ketika terjadi Tragedi 11 September di AS.2
Selain dalam jurnal ilmiah berbahasa Inggris, debat hukum bom manusia juga marak dalam media massa berbahasa Arab. Mufti Saudi Sheikh Abdul Aziz Abdullah Al-Sheik, pada majalah Al-Sharq Al-Awsat yang terbit di London, 21 April 2001 menyatakan . bahwa aksi suicide bombers (pelaku bom “bunuh diri”) itu bukan bagian dari jihad dan hanya merusak citra Islam. Dua hari kemudian, Yusuf Al Qaradhawi dalam harian Al-Raya, 25 April 2001, terbitan Qatar, membantah fatwa mufti Saudi tersebut. Lalu dua hari berikutnya, 27 April 2001, dalam hariah Al-Hayat, Syekh Al-Azhar Muhammad Sayyed Tantawi, menguatkan keabsahan aksi bom manusia dan berkomentar bahwa operasi bom itu adalah bagian dari jihad.3
1 Dedi Junaedi, “Heboh Balita Hamas”, Republika On Line, Selasa 2 Juli 2002, www.republika.co.id.
2 Dedi Junaedi, “Suara dari Para Ulama”, Republika On Line, Selasa 3 Jui 2002, www.republika.co.id.
3 Ibid.
Pro kontra hukum bom manusia juga mendorong sebagian ulama untuk menulis kitab khusus yang mendiskusikan hukumnya dalam perspektif fiqih Islam. Di antaranya adalah Nawaf Hail Takruri yang menulis kitab Al-‘Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi1 dan Dr. Muhammad Tha’mah Al Qadah yang mengarang kitab Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam.2 Sementara itu Dr. Muhammad Khair Haikal mendiskusikan hukumnya dalam kitabnya yang sekaligus juga disertasi doktornya, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah.3
Pro kontra inilah yang mendorong penulis untuk memilih tema hukum bom manusia dalam fiqih Islam. Kejelasan hukum syara’ sangat dibutuhkan dalam masalah yang amat krusial ini. Ini dikarenakan perbedaan yang ada cukup tajam dan mengandung berbagai implikasinya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi bunuh diri (‘amaliyat intihariyah), maka implikasinya kepada para pelakunya ialah tidak diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia akan dipandang sebagai orang hina karena berputus asa menghadapi kesulitan hidup. Di akhirat, pelakunya dianggap akan masuk neraka, karena telah bunuh diri. Sedang bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi mati syahid (‘amaliyat istisyhadiyah), maka implikasinya kepada para pelakunya adalah diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia dianggap sebagai pahlawan dan teladan keberanian yang patut dicontoh. Dan di akhirat insya Allah akan masuk surga.
Dalam makalah ini penulis memilih istilah “bom manusia”, sebagai terjemahan harfiyah dari sebagian literatur atau media berbahasa Inggris yang menyebut aksi pemboman ini dengan istilah “human bombing.” Istilah tersebut penulis pilih karena bersifat netral dan objektif. Sedangkan istilah lain, seperti “bom syahid” atau “bom bunuh diri” penulis anggap lebih bersifat subjektif dan kurang netral.4

II. Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, masalah yang ada penulis rumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah bom manusia itu ?
2.      Bagaimana pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya mengenai hukum bom manusia, baik yang melarang maupun yang membolehkan ?
3.      Manakah pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat itu menurut kaidah-kaidah tarjih dalam disiplin ilmu ushul fiqih ?

III. Metode Pembahasan
Dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, metode pembahasan yang penulis akan tempuh adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan fakta bom manusia itu sendiri yang menjadi pangkal pembahasan. Dalam uraian mengenai fakta bom manusia ini, akan dijelaskan bagaimana secara teknis pelaksanaan bom manusia di lapangan. Penjelasan ini akan dilengkapi dengan data-data historis dan statistik mengenai bom manusia di Palestina.
2.      Menjelaskan pendapat para ulama baik yang melarang maupun yang membolehkan aksi bom manusia. Akan dijelaskan juga dalil-dalil dari masing-masing pendapat tersebut.
3.      Mendiskusikan dan mentarjih dua pendapat tersebut untuk mencari pendapat yang kuat (rajih).
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini pada dasarnya adalah studi literatur (library research) dengan pendekatan perbandingan (comparative). Literatur yang digunakan adalah berbagai buku tentang hukum bom manusia, misalnya karya Takruri (2002), Al-Qadah (2002), ataupun Haikal (2002) seperti telah disebutkan di atas. Juga dimanfaatkan berbagai data dan informasi dari dunia maya (internet) yang relevan. Adapun perbandingan dan tarjih yang dilakukan, didasarkan pada kaidah-kaidah tarjih dalam ushul fiqih, baik yang terdapat dalam kitab ushul fiqih secara umum, seperti Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam karya Saifuddin Al Amidi5 dan kitab Irsyadul Fuhul karya Imam Asy-Syaukani6, maupun kitab ushul fiqih yang secara khusus membahas masalah kaidah tarjih, seperti kitab Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’, karya Dr. Muhammad Wafaa.7

IV. Fakta Bom Manusia
Pemahaman akan fakta yang menjadi sasaran penerapan hukum, sangat fundamental dalam proses istinbath hukum syara’ atau penerapan (tathbiq) hukum syara’. Para ulama ushul fiqih telah membuat rumusan bahwa hukum syara’ terhadap suatu fakta adalah cabang dari gambaran atau pengetahuan tentang fakta itu (al hukmu ‘ala asy-syai` far’un min tashawwurihi wal ‘ilmi bihi).8
Atas dasar itu, penulis akan mencoba memaparkan lebih dahulu fakta-fakta yang berkaitan dengan bom manusia sebelum menyampaikan berbagai pendapat ulama mengenai fakta bom manusia. Fakta-fakta ini penulis bagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) definisi bom manusia; (2) data historis; (3) data statistik, dan (4) informasi teknis pelaksanaan bom nanusia itu sendiri.

A. Definisi
Definisi bom manusia, menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin.9
Menurut Nawaf Hail Takruri, bom manusia adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.10 Dapat juga penyerangan dilakukan pada berbagai sarana transportasi bermuatan banyak orang, seperti bus, pesawat terbang, kereta api, dan sebagainya. Dapat pula teknis pelaksanaannya dengan berpura-pura menyerah kepada musuh, kemudian ketika dekat dengan mereka dan memperoleh kesempatan, ia meledakkan bahan-bahan peledak yang dibawanya, sehingga menimbulkan banyak korban, baik yang terbunuh, terluka, atau mengalami kerusakan bangunan, dan termasuk juga terbunuhnya pelaku peledakan sendiri.11

B. Data Historis
Di Palestina, aksi bom manusia telah berlangsung setidaknya dalam 23 bulan terakhir (hingga September 2002).12 Tepatnya, hal itu bermula ketika Sejak Syeikh Ahmad Yasin (66 tahun) --tokoh spiritual Hamas dan inspirator gerakan jihad yang masih ada-- merestui upaya Nabil Arir (24 tahun) meledakkan permukiman Israel di Kota Gaza, pada 26 Oktober 2000.
Para pelaku aksi pada umumnya berasal dari berbagai kelompok Islam yang melakukan jihad dan perlawanan terhadap Israel, yaitu Brigade Al-Qosam, Brigade Al-Aqso, Hamas, Al-Fatah, Hizbullah, Islamic Jihad, dan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP). Menurut investigasi The Guardian, Brigade Al-Qosam --sayap militer Hamas-- merupakan pemasok relawan jihad terbesar di Palestina. Dalam 56 aksi bom syahid terakhir (hingga Juli 2002), kelompok ini memasok sekitar 20 kadernya. Urutan berikutnya adalah kelompok Brigade Al-Aqsho, Islamic Jihad, dan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP). Masing masing menyumbang 14, 11, dan dua mujahid.13

C. Data Statistik
Aksi bom manusia yang dilakukan di Palestina sejak bulan Oktober tahun 2000 telah mengakibatkan gugurnya 250 mujahid, yang umumnya berusia di bawah 30 tahun. Sebagian besar mereka adalah kaum muda yang sedang berada dalam usia produktif dan dinamis. Bahkan, dalam 56 aksi terakhir, pelakunya berusia di bawah tiga puluh tahun. Tiga orang di antaranya adalah wanita : Wafa Idris (27 tahun), Ayat Al-Akhras (16 tahun) dan Dari Abu Aysheh (20 tahun).14
Harian Yedioth Aharonot terbitan Israel, pada bulan Mei 2001 mempublikasikan data tentang tipikal para pelaku aksi bom manusia tersebut sebagai berikut :
1.      sebanyak 67 % pelaku aksi adalah kalangan terpelajar. Setidaknya sejumlah 39 % pernah mengenyam bangku sekolah menengah atas (high school).
2.      sebanyak 83 % pelaku aksi adalah mereka yang masih lajang (single).
3.      sebanyak 64 % pelaku aksi berusia antara 18 hingga 23 tahun. Sisanya (36 %), hampir semuanya berusia di bawah 30 tahun.
4.      sebanyak 68 % pelaku aksi berasal dari penduduk Tepi Barat.15
Mengenai opini penduduk Palestina tentang aksi bom manusia itu sendiri, sebuah jajak pendapat (polling) telah dilakukan oleh Palestinian Center for Public Opinion (PCPO) yang dipimpin Dr. Nabil Kukali, pada akhir Mei 2001. Respondennya adalah penduduk Palestina dewasa yang ada di Tepi Barat, Jalur Gaza, termasuk juga Yerussalem Timur. Hasilnya adalah :
·         a. dalam jumlah mayoritas (76,1%) muslim Palestina mendukung aksi bom manusia.
·         b. sejumlah kecil responden (12,5%) menolaknya (tidak setuju).
·         c. sejumlah 11,4% dari responden tidak menyatakan pendapatnya (abstain).16

D. Teknis Pelaksanaan Aksi
Seorang pelaku aksi pemboman akan mengalami 4 (empat) tahapan yang harus dilalui hingga dia menjalankan aksinya. Empat tahap itu adalah : (1) pengetesan (seleksi), (2) rekrutmen, (3) persiapan, dan (4) pelaksanaan aksi. Semua tahap-tahap ini umumnya dilaksanakan oleh berbagai brigade jihad yang ada di Palestina.17
Pada tahap seleksi, seorang calon pelaku aksi akan dibawa ke kamp pelatihan dan diamati terlebih dahulu perilakunya selama beberapa hari. Dilakukan juga wawancara dan diskusi dengannya. Dalam seleksi ini, akan dinilai apakah seorang calon pelaku aksi memenuhi kriteria yang ditetapkan. Menurut Sholah Syehada, Komandan Batalion Al-Qossam, calon pelaku aksi harus memenuhi empat kriteria, yaitu : (1) harus betul-betul seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam, dan direstui oleh orangtuanya; (2) bukan merupakan tulang punggung keluarganya; (3) memiliki kemampuan dan keahlian melakukan misi; dan (4) dapat menjadi teladan bagi muslim lainnya agar mengikuti jejaknya.18
Pada tahap rekrutmen, seorang calon aksi berarti dinilai sudah memenuhi kriteria-kriteria tersebut dan dianggap telah resmi bergabung dengan sebuah brigade serta siap menjalankan misi.
Pada tahap persiapan, seorang calon digembleng selama 20 hari dalam kamp pelatihan. Seorang instruktur akan melakukan diskusi mendalam dengan para calon tentang agama Islam. Para calon juga diajak menonton video tentang para syuhada dan menganalisis serangan yang telah dilakukan pendahulu mereka itu. Ketika persiapan sudah komplet dan mantap, para calon memasuki tahap pelaksanaan aksi.
Pada tahap pelaksanaan aksi, seorang anggota dari unit lain akan menjemput seorang calon dan menemaninya melakukan perjalanan akhir. Setelah deskripsi tugasnya ditentukan, pengebom diberi tahu secara persis pada menit-menit terakhir apa yang harus dilakukan, misalnya apakah ia akan menjadi pengebom “bunuh diri” atau menyerang target dengan granat dan senapan sampai akhirnya ia ditembak mati.
Bila ia ditentukan menjadi pengebom “bunuh diri”, dia segera mengenakan rompi yang sudah diisi dengan 10 kilogram bahan peledak dan lima kilogram paku serta baja. Ini kira-kira 15 menit sebelum ia diterjunkan ke sasaran. Di saat itulah ia diberitahu secara persis sasaran yang harus dihancurkan dengan dirinya yang sudah "berbaju" bom. Sasaran ini bisa berupa sebuah bus, pesawat terbang, kereta api, sebuah gedung pertemuan umum, sebuah supermarket, jalan yang padat pengunjung, dan sebagainya.

V. Pendapat Ulama
Secara garis besar terdapat dua pendapat ulama dalam masalah aksi bom manusia tersebut, yaitu sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Di antara ulama masa kini yang membolehkan adalah19 :
1.      Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
2.      Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
3.      Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Theologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
4.      Dr. Ali Ash-Shawi (Mantan Ketua Jurusan Fiqih dan Perundang-undangan Fakultas Syariah Universitas Yordania).
5.      Dr. Hamam Said (Dosen Fakultas Syariah Universitas Yordania dan anggota Parlemen Yordania).
6.      Dr. Agil An-Nisyami (Dekan Fakultas Syariah Universitas Kuwait).
7.      Dr. Abdur Raziq Asy-Syaiji (Guru Besar Fakultas Syariah Univesitas Kuwait).
8.      Syaikh Qurra Asy-Syam Asy-Syaikh Muhammad Karim Rajih (ulama Syiria).
9.      Syaikhul Azhar (Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi).
10.  Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (ulama Mesir).
11.  Fathi Yakan (aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin).
12.  Dr. Syaraf Al-Qadah (ulama Yordania).
13.  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (ulama Qatar).
14.  Dr. Muhammad Khair Haikal (aktivis dakwah Hizbut Tahrir).
15.  Syaikh Abdullah bin Hamid (Mantan Hakim Agung Makkah Al-Mukarramah).
Sementara itu ulama kontemporer yang mengharamkan aksi bom manusia antara lain :
1.      Syaikh Nashiruddin Al-Albani (ulama Arab Saudi).
2.      Syaikh Shaleh Al-Utsaimin (ulama Arab Saudi).
3.      Syaikh Hasan Ayyub.

A.Dalil-Dalil Yang Membolehkan
Al-Qadah dalam kitabnya Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam telah menyebutkan sekitar 20 dalil syara’ yang mendasari bolehnya melakukan aksi bom manusia, yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang membolehkan aksi bom manusia ini.20 Di antaranya adalah :
1. Firman Allah SWT :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri, dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an.” (QS At-Taubah : 111)
Al-Qadah mengatakan bahwa wajhud dalalah (segi pemahaman dalil) dari ayat ini adalah, bahwa perang di jalan Allah mempunyai resiko besar berupa kematian (wa yuqtalun “dan mereka terbunuh”). Padahal kematian ini merupakan sesuatu yang kemungkinan besar atau pasti akan terjadi pada aksi bom manusia. Akan tetapi meski demikian, Allah SWT tetap memerintahkannya dan memberikan pahala surga bagi yang melaksanakannya. Perintah Allah SWT ini menunjukkan izin dari Allah untuk melaksanakannya.21
2. Firman Allah SWT :
Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur (terbunuh) atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS An-Nisaa` :74).
Wajhud dalalah dari ayat ini, menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andaikata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi SAW.22
3. Firman Allah SWT :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Baqarah : 195).
Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat bernama Abu Ayyub Al-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut, yang dipahami sebagai larangan mengorbankan diri dalam peperangan. 23
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan,”Yazib bin Abi Habib telah meriwayatkan dari Aslam bin Imran, yang berkata,’Kami berperang melawan pasukan Konstantinopel dan pasukan saat itu dipimpin oleh Abdurrahman bin Al-Walid. Pada waktu itu orang-orang Romawi telah merapat pada benteng kota. Kemudian seseorang maju ke tengah barisan musuh. Ketika itu orang-orang berkata,’Laa ilaaha illallah, ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.’ Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari seraya berkata,’Subhanallah, Allah telah menurunkan ayat ini pada kami sekalian orang Anshar. Ketika Allah telah menolong Nabi-Nya dan menampakkan agama-Nya, kami orang Anshar berkata,’Kita akan diam (tidak berperang) dan akan mengurus harta-harta kami. Kemudian turunlah firman Allah “maka belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS Al-Baqarah : 195). Dan yang dimaksud dengan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan adalah kesibukan kami mengurus harta dan meninggalkan jihad.”24
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini.25
4. Firman Allah SWT :
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya namun Allah mengetahuinya.” (QS At Taubah : 97)
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa aksi-aksi bom manusia termasuk dalam bentuk jihad yang paling besar. Aksi ini termasuk dalam aksi-aksi teror (irhab) sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.26
4.Hadits Nabi SAW sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut :
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi SAW, beliau bersabda,”Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan Rasulullah bersabda lagi, ”Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang Anshar tersebut terbunuh.” (HR. Muslim)27
Ketika Nabi SAW mengatakan,” Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga…” adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri –seperti halnya aksi bom manusia-- dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.28

B.Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh Al-Utsaimin mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan dalil-dalilnya :
1. Syaikh Nashiruddin Al-Albani ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau menjawab bahwa aksi bom manusia dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan Islam yang berlandaskan hukum Islam, dan seorang tentara harus bertindak berdasarkan perintah pemimpin perang (amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah. Jika tidak ada pemerintahan Islam di bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom manusia tidak sah dan termasuk bunuh diri.29
2. Syaikh Shaleh Al-Utsaimin ketika ditanya mengenai seseorang yang memasang bom di badannya lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang kafir untuk melemahkan mereka, beliau menjawab bahwa tindakan itu adalah bunuh diri. Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi. Beliau berdalil dengan firman Allah SWT yang melarang bunuh diri :
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29)
Beliau juga berdalil dengan hadits-hadits Nabi SAW yang melarang bunuh diri, seperti hadits Nabi SAW :
Barangsiapa yang mencekik lehernya, ia akan akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).30

VI. Diskusi dan Tarjih
Dengan mendalami pendapat masing-masing baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan aksi bom manusia, penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat yang membolehkan aksi bom manusia. Aksi ini menurut penulis bukanlah tindakan bunuh diri dan dengan demikian pelakunya insya Allah akan mendapatkan surga, bukan neraka.
Parameter yang penulis gunakan untuk menilai pendapat yang lebih kuat adalah ketepatan penggunaan dalil terhadap fakta yang menjadi permasalahan. Hal ini sangat penting mengingat salah satu langkah penting dalam proses istinbath hukum adalah fahmul waqi’ , atau memahami fakta yang menjadi sasaran penerapan hukum. Untuk dapat menerapkan suatu ketentuan fiqih secara tepat, seorang faqih harus mengetahui fakta yang akan dihukumi. Thaha Jabir Al-Alwani ketika menyebutkan pengertian fiqih, menyatakan bahwa fiqih adalah adalah pengetahuan seorang faqih (ahli fiqih) terhadap hukum suatu fakta (al-waqi’ah) yang diambil dari dalil-dalil yang rinci dan parsial yang telah ditetapkan Asy Syari’ (Allah) untuk menunjukkan hukum-hukumnya.31 Definisi ini mengisyaratkan satu hal penting yang harus dimiliki seorang faqih, yaitu pengetahuan tentang fakta permasalahan (al-waqi’ah). Maka dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi, di antara sebab-sebab kesalahan fatwa adalah ketidakpahaman tentang masalah yang ditanyakan, sehingga keliru menerapkan nash-nash syara’ yang dimaksud dengan kejadian yang sebenarnya.32
Memahami fakta dengan baik ini, menurut Taqiyuddin An Nabhani, adalah langkah pertama dari seseorang yang akan mengistinbath hukum syara’ untuk fakta itu. Menurut An-Nabhani metode yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam mengistinbath hukum adalah : pertama, mengkaji masalah yang ada sehingga dipahami dengan sempurna; kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang berkaitan dengan masalah tersebut; ketiga, mengistinbath hukum syara’ untuk masalah tersebut dari dari dalil-dalil syar’i.33
Fakta yang harus dipahami dan menjadi objek penerapan hukum syara’ ini oleh An- Nabhani disebutnya dengan istilah manath, yang menurut beliau manath adalah fakta yang padanya akan diterapkan suatu hukum syara’ (al-waqi’ alladzi yuthabbaqu ‘alaihi al-hukmu). Manath ini harus dikaji dengan baik dalam dua keadaan: pertama, dalam rangka proses istinbath hukum syara’ untuk menghukumi suatu manath tertentu; kedua, dalam rangka menerapkan hukum syara’ yang sudah ditetapkan pada suatu manath tertentu.34
Berdasarkan ini, maka ketidaktepatan memahami fakta permasalahan, akan dapat menimbulkan kekeliruan penerapan nash-nash syara’ yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekeliruan fatwa atau ijtihad. Berkaitan dengan pendapat ulama yang mengharamkan aksi bom manusia, penulis dapati mereka kurang cermat memahami fakta yang akan menjadi objek hukum ini, yaitu tidak dapat membedakan secara jernih aktivitas bom manusia dengan aktivitas bunuh diri. Padahal di antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Al-Qadah menjelaskan perbedaan bunuh diri dan aksi bom manusia dalam 3 (tiga) aspek berikut :
Pertama, Motivasi. Motivasi orang yang melakukan aksi bom manusia adalah keinginan untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Sedangkan orang yang bunuh diri, jelas tidak punya keinginan untuk menegakkan kalimat Allah, melainkan ingin mengakhiri hidup karena berbagai kesulitan duniawi yang tidak sanggup lagi dipikul, seperti penyakit berat, kegagalan cinta, kebangkrutan usaha, kehancuran rumah tangga, dililit utang, dan sebagainya.
Kedua, Akibat di akhirat. Orang yang mati syahid mengorbankan dirinya dengan cara aksi bom manusia, buahnya adalah surga, sebagaimana janji Allah dalam banyak ayat Al Quran. Sedangkan akibat di akhirat bagi orang yang bunuh diri, jelas bukan surga, karena yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya adalah adzab di neraka, yaitu akan disiksa di neraka dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia.
Ketiga, Dampak duniawi. Orang yang melakukan aksi bom manusia dalam rangka jihad, dampaknya adalah dapat mengguncang musuh, menanamkan ketakutan pada hati musuh, atau melemahkan mental mereka dalam peperangan. Ini sebagaimana terjadi di Lebanon, Sudan, Palestina, dan sebagainya. Sedang orang yang bunuh diri dampaknya hanyalah menimbulkan kesedihan dan kepedihan keluarga, dan sama sekali tidak ada dampak terhadap perlawanan kepada musuh. 35
Perbedaan antara orang yang melakukan aksi bom manusia di jalan Allah dengan orang yang bunuh diri, dapat diringkas dalam tabel berikut : 
Tabel 1. Perbedaan Aksi Bom Manusia dengan aksi Bunuh Diri.

Dengan adanya perbedaan seperti digambarkan di atas, jelas tidak tepat jika dikatakan bahwa aksi bom manusia seperti yang dilakukan para mujahidin Palestina saat ini, adalah tindakan bunuh diri yang konyol.
Namun demikian, menurut penulis pendapat Syaikh Shaleh Al-Utsaimin yang menganggap aksi bom manusia sebagai tindakan bunuh diri, tidak dapat dianggap mutlak salah. Dalam arti, pendapat tersebut masih dapat diterima dalam satu keadaan, yaitu jika pelaku aksi pemboman niatnya memang untuk bunuh diri, bukan untuk meninggikan kalimat Allah dalam rangka jihad di jalan Allah. Dalam kondisi demikian, berlakulah kaidah fiqih :

Al-umuuru bi maqaashidiha

Dengan demikian, jika seorang pelaku aksi bom manusia meniatkan aktivitasnya untuk bunuh diri karena putus asa dan ingin lari dari kesulitan hidup, dan tidak meniatkan untuk berjihad lillahi ta’ala, maka pada saat itu aktivitasnya tergolong bunuh diri yang haram menurut syara’. Maka dalil-dalil ulama yang mengharamkan aksi bom manusia seperti telah disebutkan di atas, dapat diterapkan untuk kondisi seperti ini. Sedang jika pelaku aksi berniat meninggikan kalimat Allah dan berjihad di jalan Allah, maka menurut penulis aktivitasnya tidak dapat digolongkan bunuh diri.
Adapun pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang mensyaratkan bahwa jihad secara umum dan aksi bom manusia secara khusus wajib di bawah kepemimpinan khalifah, menurut pandangan penulis, bukan pendapat yang kuat. Hal ini karena dua alasan berikut :
Pertama, nash-nash yang mewajibkan jihad bersifat mutlak, tidak bersifat muqayyad, dalam arti tidak disyaratkan jihad wajib dilakukan bersama seorang khalifah. Misalnya firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (QS At-Taubah : 123)
Ayat ini merupakan perintah melakukan jihad yang bersifat mutlak. Tidak ada persyaratan bahwa jihad wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan khalifah. Jadi keberadaan khalifah bukan syarat kewajiban jihad. Jihad tetap fardhu baik ketika khalifah ada maupun tidak ada. Hal ini disebabkan nash-nash yang bersifat mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan taqyidnya, sebagaimana kaidah ushul :

Al-Uthlaaqu yabqa ‘ala ithlaaqihi ma lam yaqum dalilun ‘ala taqyiidihi

Lafazh mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya (taqyid).”37
Kedua, ada nash-nash hadits yang secara khusus mewajibkan jihad dalam segala keadaan, baik kaum muslimin berada di bawah pemimpin yang adil maupun yang fajir (fasik). Misalnya sabda Nabi SAW :
Jihad itu tetap wajib atas kalian bersama setiap pemimpin, yang baik maupun yang jahat. [Sebagaimana] shalat juga tetap wajib atas kalian di belakang seorang muslim, yang baik ataupun yang jahat, sekali pun dia mengerjakan dosa-dosa besar.” (HR. Abu Dawud dan Abu Ya’la).38
Atas dasar hadits ini, maka jihad tetap wajib dilaksanakan meskipun pemimpin umat Islam adalah pemimpin yang zalim, termasuk di dalamnya pemimpin yang bukan khalifah.
Maka dari itu, jelaslah bahwa menurut penulis, pandangan Al-Albani yang mensyaratkan jihad harus di bawah pimpinan khalifah, adalah pandangan yang lemah dan tidak dapat diterima. Sebagai implikasinya, aksi bom manusia saat ini yang dilakukan di Palestina, pada saat khalifah kaum muslimin tidak ada semenjak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, tetap sah dan pelakunya tidak berdosa melakukannya.

VII. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah diutarakan, penulis menarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum melakukan aksi bom manusia dalam peperangan melawan musuh kafir, seperti yang terjadi saat ini di Palestina. Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan.
2. Dalil-dalil ulama yang membolehkan aksi bom manusia menurut penulis lebih kuat daripada yang mengharamkan, dengan pertimbangan bahwa ulama yang membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih jeli, dan dalil-dalilnya lebih sesuai untuk fakta yang dimaksudkan. Sedang dalil-dalil ulama yang mengharamkan, menurut penulis tidak sesuai dengan fakta permasalahan yang ada.
3. Ada perbedaan yang jelas antara aksi bom manusia dan tindakan bunuh diri, baik dari segi motivasi, akibat di akhirat, dan dampaknya di dunia. Namun demikian, aksi bom manusia bisa saja tergolong bunuh diri jika niatnya memang untuk bunuh diri dan bukan untuk menegakkan kalimat Allah. [ ]

DAFTAR PUSTAKA
·                     Ahmad, Imam. Musnad Imam Ahmad. CD Hadits Kutub At-Tis’ah.
·                     Al-Alwani, Thaha Jabir Fayyadh. 1987. Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam. Cetakan III. (Washington : Al-Ma’had Al ‘Alami li Al-Fikr Al-Islami).
·                     Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari.
·                     Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1986. Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah (Sidney : Syabab Hizbut Tahrir Australia).
·                     Al-Qadah, Muhammad Tha’mah. 2002. Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam). Alih Bahasa Haris Muslim. Cetakan I. (Banding : Pustaka Umat)
·                     Al-Qaradhawi, Yusuf. 1994. Ikut Ulama Yang Mana ? Etika Berfatwa dan Mufti-Mufti Masa Kini (Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wa At-Tasayyub). Alih bahasa Ali Tsauri dkk. Cetakan I. (Surabaya : Pustaka Progressif)
·                     Al-Qarhudaghi, Ali Muhyidin. 1992..Hukm Ijra` Al-Uqud bi Alat Al-Ittishal Al-Haditsah. (Beirut : Mu`assah Ar Risalah).
·                     Al-Qurthubi, Imam. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an.
·                     An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Cetakan II. (Al Quds : tanpa penerbit).
·                     ----------. 1973. At-Tafkir. Cetakan I. (tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)
·                     ----------. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. (tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit).
·                     Asy-Syafi’i, Ahmad Muhammad. 1983. Ushul Fiqh Al-Islami. (Iskandariyah : Mu`assasah Tsaqafah Al-Jama’iyah).
·                     As-Suyuti, Jalaluddin. Tanpa Tahun. Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu’. (Semarang : Mathba’ah Usaha Keluarga).
·                     Junaedi, Dedi. “Heboh Balita Hamas”. Republika on Line, Selasa 2 Juli 2002, www.republika.co.id.
·                     ----------. “Suara dari Para Ulama”. Republika on Line, Selasa 3 Jui 2002. www.republika.co.id.
·                     ---------- “Syahidnya Calon Mempelai”. Republika on Line, Rabu 3 Juli 2002, www.republika.co.id.
·                     ---------- “Motivasi di Balik Bom Syahid”. Republika on Line, Kamis 4 Juli 2002, www.republika.co.id.
·                     Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
·                     “Nyawa pun Kami Berikan”. Kompas on Line. Minggu 7 April 2002. www.kompas.com.
·                     “Komandan Batalion Al-Qossam Beberkan Strategi Operasi Mati Syahid”. 29 Mei 2002, www.alislam.or.id.
·                     Muslim, Imam. Shahih Muslim. CD Kutub At-Tis’ah.
·                     Shuman, Ellis. “What Makes Suicide Bombers Tick?”. 4 Juni 2001, www.israelinsider.com
·                     Takruri, Nawaf Hail.2002. Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (Al-‘Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi). Alih Bahasa M. Arif Rahman. Cetakan I. (Jakarta :Pustaka Al-Kautsar).
·                     Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah Asy-Syar’iyah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Bainaha). Alih Bahasa Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).

1 Lihat Nawaf Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (Al-‘Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), alih bahasa M. Arif Rahman, Cetakan I, (Jakarta :Pustaka Al-Kautsar), 2002.
2 Muhammad Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam), alih bahasa Haris Muslim, Cetakan I, (Banding : Pustaka Umat), 2002.
3 Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah, Cetakan II, (Beirut : Darul Bayariq), 1996.
4 Kenetralan istilah dalam kajian diperlukan agar tidak terjadi tahsil al-hasil, yaitu menghasilkan kesimpulan yang sudah dihasilkan. Ungkapan “bom syahid dalam pandangan Islam”, atau “bom bunuh diri dalam pandangan Islam” tak ubahnya seperti ungkapan “riba bank dalam pandangan Islam.” Yang tepat mestinya “bunga bank dalam pandangan Islam”, sebab “bunga bank” menggambarkan fakta objektif. Sedang “riba bank” adalah suatu penilaian atas fakta, atau kesimpulan atas suatu fakta.
5 Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Juz III dan IV, (Beirut : Darul Fikr), 1996.
6 Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul, (Beirut : Darul Fikr), tanpa tahun.
7 Muhammad Wafaa, Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah Asy-Syar’iyah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Bainaha), alih bahasa Muslich, Cetakan I, (Bangil ; Al-Izzah), 2001.
8 Ali Muhyidin Al Qarhudaghi, Hukm Ijra` Al-Uqud bi Alat Al-Ittishal Al-Haditsah , (Beirut : Mu`assah Ar Risalah), 1992, hal. 9.
9 Muhammad Tha’mah Al-Qadah, op.cit., hal. 17.
10 Nawaf Hail Takruri, op.cit. hal. 2; Muhammad Tha’mah Al-Qadah, op.cit., hal. 12 dan 17.
11 Nawaf Hail Takruri, op.cit. hal. 2-3.
12 Dedi Junaedi, “Syahidnya Calon Mempelai”, Republika On Line, Rabu 3 Juli 2002, www.republika.co.id.
13 Ibid.
14 Dedi Junaedi, “Motivasi di Balik Bom Syahid”, Republika On Line, Kamis 3 Juli 2002, www.republika.co.id.
15 Data ini dikutip oleh Ellis Shuman, “What Makes Suicide Bombers Tick?”, 4 Juni 2001, www.israelinsider.com
16 Ibid.
17 Ini berdasarkan investigasi Hala Jaber, seorang penulis Lebanon, yang laporannya diturunkan dalam London Sunday Times, edisi 25 Maret 2001. Lihat “Nyawa pun Kami Berikan”, Kompas On Line, Minggu 7 April 2002, www.kompas.com.
18 “Komandan Batalion Al-Qossam Beberkan Strategi Operasi Mati Syahid”, 29 Mei 2002, www.alislam.or.id.
19 Muhammad Tha’mah Al-Qadah, op.cit., hal. 49; Nawaf Hail Takruri, op.cit., hal. xiv-xv.
20 Muhammad Tha’mah Al-Qadah, op.cit., hal. 23-37.
21 Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 23 (dengan sedikit perbaikan dan tambahan redaksional); Muhammad Khair Haikal, op.cit., Juz II, hal. 1400.
22 Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 24 (dengan sedikit perbaikan dan tambahan redaksional).
23 Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 25.
24 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz II, hal. 361.
25 Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 26.
26 Nawaf Hail Takruri, op.cit., hal. 97.
27 Shahih Muslim, hadits no. 1789, Juz III, hal. 1315.
28 Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 30; Muhammad Khair Haikal, op.cit, Juz III, hal. 1400.
29 Fatwa lengkap Al-Albani lihat Muhammad Tha’mah Al Qadah, op.cit., hal. 50-51, dan 54; Lihat juga Nawaf Hail Takruri, op.cit., hal.68-70. Namun dalam kedua sumber ini tidak ada nash khusus yang disebut oleh Al-Albani.
30 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Juz III, hal. 593; Musnad Imam Ahmad, Juz II, hal. 435.
31 Thaha Jabir Fayyadh Al-Alwani, Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, Cetakan III, (Washington : Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami), 1987, hal. 104
32 Yusuf Al-Qaradhawi, Ikut Ulama Yang Mana ? Etika Berfatwa dan Mufti-Mufti Masa Kini (Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wa At-Tasayyub), alih bahasa Ali Tsauri dkk, Cetakan I, (Surabaya : Pustaka Progressif), 1994, hal. 72.
33 Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham Al-Islam, Cetakan VI, (tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit), 2001, hal. 74. Lihat juga kitab An Nabhani lainnya dalam pembahasan ini, At-Tafkir, Cetakan I, (tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit),1973, hal. 148.
34 Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III, Cetakan II, (Al Quds : tanpa penerbit), 1953, hal. 339-341. Bandingkan dengan definisi manath menurut Al-Amidi, Al-Ihkam, Juz III, hal. 204.
35 Muhammad Tha’mah Al-Qadah, op.cit., hal. 18-21.
36 Lihat Jalaluddin As-Suyuti, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu’, (Semarang : Mathba’ah Usaha Keluarga), tanpa tahun, hal. 6.
37 Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, Ushul Fiqh Al-Islami, (Iskandariyah : Mu`assasah Tsaqafah Al-Jama’iyah), 1983, hal. 322; Imam Asy-Syaukani, op.cit. hal.164; Saifuddin Al-Amidi, op.cit., Juz III, hal. 3.
38 Abdurrahman Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah, (Sidney : Syabab Hizbut Tahrir Australia), 1986, hal. 122