Kamis, 02 September 2010

Dalam "Demokrasi" Sholat Hukumnya "Mubah"

Apabila kita mau mencermati, saat ini banyak orang yang mengaku muslim, namun enggan untuk melaksanakan sholat lima waktu, baik yang bolong-bolong ataupun tidak sama sekali. Disamping karena lemahnya iman, yang pasti di dalam sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi-sekulerisme seperti ini, sholat itu hukumnya “mubah” (dalam tanda kutip), artinya tidak sholatpun juga tidak apa-apa, tak akan di permasalahkan atau dikenai sanksi.

 

Di sebuah negri yang dimana hukum-hukum Allah banyak dicampakkan seperti ini, banyak muslimah yang tidak menutup auratnya dengan sempurna, sebab demokrasi juga me-“mubah”-kan. Buktikan saja, mintalah dua orang wanita, yang satu memakai helm tak berjilbab, satunya memakai jilbab tak berhelm supaya keluar menaiki motor ke jalan raya, sudah pasti, wanita yang memakai jilbab tak berhelm yang akan kena semprit Pak Polisi.

 

Bagi negri yang menerapkan sistem jahiliyah seperti ini, perzinahan menjadi merajalela. Dalam pandangan demokrasi yang sekarang diterapkan, berzina itu tidak mengapa asal bujang, suka sama suka, berzina hingga berbadan dua, tidak akan kena pasal delik perzinahan. Bila sudah menikah mendapat hukuman, namun tak men-jera-kan.

 

Dalam negri demokrasi kapitalisme seperti ini transaksi riba juga menggurita, bagaimana tidak, negara justru melegalkan. Berdirinya bank-bank ribawi adalah faktanya.  Berarti, sekali lagi, dalam demokrasi, bunga bank itu “mubah”.

 

Begitu pula orang yang keluar dari agamanya alias murtad, dalam demokrasi hukumnya boleh-boleh saja. Sebagai contoh adalah murtadnya salah satu artis yang cukup terkenal di kalangan masyarakat, yakni nafa urbach bebarapa waktu yang lalu. Itu artinya negara tidak mampu menjaga aqidah masyarakatnya.

 

Padahal jelas, dalam Islam, sholat lima waktu hukumnya adalah fardhu a’in, berzina hukumnya haram, transaksi riba juga haram, apalagi bagi yang keluar dari agamanya. Maka dari itu, Negara harus menjamin setiap warganya untuk lebih taat kepada Allah swt. Baik dalam ketaqwaan secara individu (sholat, zakat, puasa dll), maupun secara kolektif (mu'amalah dan uqubat).

 

Karena itu, peran negara untuk menerapkan syariah Islam secara menyeluruh sangatlah wajib dan perlu. Sikap tegas negara dalam menerapkan sanksi yang sebelumnya dilakukan sosialisasi dan pendidikan Islam secara berkesinambungan akan sangat efektif untuk menyebarkan dakwah Islam sehingga dapat tercipta masyarakat yang Islami.

 

Namun jangan khawatir, negara khilafah bukanlah negara yang homogen, non Muslim pun akan mendapat perlakuan yang baik oleh negara, takkan dipaksa untuk memeluk Islam. Dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah, Syeikh Taqiyyudin An-Nabhaniy secara umum menjelaskan bagaimana perlakukan negara khilafah terhadap non muslim, antara lain:
Seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim.
Non muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya.
Memberlakukan non muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.
Urusan pernikahan dan perceraian antar non muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.
Dalam bidang publik seperti mu’amalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya , negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga Negara baik muslim maupun non muslim.
setiap warga Negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara, sehingga Negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun non muslim.

Apabila sistem Islam merupakan sistem terbaik dan ini wajib untuk diterapkan, pertanyaannya, apakah belum terbetik dihati kita untuk berusaha mengganti sistem demokrasi sekulerisme yang nyata-nyata telah menimbulkan fasad ini dengan sistem Islam?. Sudah saatnya untuk ikut berjuang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai negara khilafah. Allahu Akbar! Wallahu a'lam bi ash-shawab.

 

 

 

 

Ali Mustofa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar